Untung Mana, Beli Asuransi Konvensional, Reksa Dana, atau Unit Link?

Tuesday, June 12, 2007 0 comments

Untung Mana, Beli Asuransi Konvensional, Reksa Dana, atau Unit Link?

Kamis, 05 Oktober 2006
Oleh : Eva Martha Rahayu (www.swa.co.id)


Dengan bujet Rp 60 juta/tahun, investor Y (35 tahun) ingin membiakkan dananya dalam tempo 10 tahun. Bagaimana potensi return dan risikonya jika diinvestasikan ke asuransi murni, reksa dana atau unit link?

Seorang perencana keuangan dari sebuah perusahaan investasi di Jakarta mengaku sering kedatangan “pasien” yang bingung memilih produk investasi. Sang klien punyak segepok duit, tapi tidak tahu produk investasi apa yang cocok. Sementara penawaran produk investasi yang ada di depan mata meliputi asuransi, reksa dana dan unit link. Sesuai dengan karakter investor di Indonesia pada umumnya, klien ini tak mau nilai pokok investasinya tergeregoti. Bahkan, kalau bisa nilainya terus bertambah mengikuti lamanya masa investasi. Bagaimana caranya?

Bila Anda punya masalah seperti itu tidak usah bimbang. Sang “dokter investasi” tersebut siap memberikan beberapa alternatif obat sebagai solusinya. Mari kita bahas satu per satu mengenai asuransi tradisional, instrumen reksa dana dan unit link. Kasusnya kita ambil dari contoh Mr. Y dengan usia 35 tahun, bujet Rp 60 juta/tahun, periode investasinya 10 tahun.

Ditinjau dari segi asuransi murni, jelas produk ini tidak memberikan imbal hasil (return). Sebab prinsipnya, asuransi merupakan proteksi diri dari risiko, semisal asuransi jiwa. Jenis asuransi paling tua ini akan memberikan perlindungan finansial terhadap pihak yang ditinggalkan (keluarga atau ahli waris) bila seseorang (tertanggung) meninggal akibat sakit, kecelakaan, atau lanjut usia.

Manajer Pemasaran Senior Sequis Life, Dini Indriani, menjelaskan, jenis asuransi jiwa ini masih dibedakan lagi menjadi tiga. Pertama, term life atau asuransi jangka warsa. Asuransi ini bersifat proteksi murni, tanpa unsur tabungan sama sekali. Selain itu tidak ada nilai uang pertanggungan (UP) di akhir kontrak jika tertanggung masih hidup alias hangus. “Kelebihan asuransi ini, dengan nilai premi kecil dapat meraih proteksi cukup tinggi,” kata Dini.

Bentuk asuransi yang kedua adalah whole life. Asuransi ini memberikan perlindungan seumur hidup. Menariknya, ada nilai UP di akhir kontrak sebesar 100% UP + dividen dengan rata-rata masa asuransi 100 tahun. Akan tetapi, preminya lebih mahal dibanding term life dengan imbalan UP tidak hangus.

Ketiga, endowment, asuransi jiwa yang memberikan proteksi sekaligus manfaat tabungan sehingga dikenal dengan nama asuransi dwiguna. Selain nilai tunai, ada manfaat tahapan di tahun-tahun tertentu. Namun, preminya juga cukup mahal karena memberikan perlindungan manfaat tabungan cukup tinggi. Jadi, kalau dengan asumsi sama-sama tidak terjadi musibah (meninggal/kecelakaan), membeli asuransi tradisional itu kurang menguntungkan. Sebab, nasabah tidak mendapatkan return apa pun. Bandingkan jika nasabah itu membeli produk unit link atau reksa dana yang kisaran return-nya cukup oke. Berdasarkan data return satu tahun terakhir (15 September 2005 - 15 September 2006) sejumlah reksa dana yang dipublikasi di media cetak, angkanya mulai 43,39% hingga 66,53%.

Sementara itu, jika dilihat dari sisi coverage risiko, pastilah asuransi jiwa paling mantap, khususnya asuransi yang ada nilai tunai/tabungan. Wira Arjuna, Direktur Penjualan Allianz Life Indonesia, memberikan jawaban ilustrasi sebagai berikut. Dengan premi Rp 60 juta/tahun, maka selama 10 tahun total premi yang dibayarkan Mr. Y berarti Rp 600 juta (akhir kontrak umur Mr. X menjadi 45 tahun), dan nilai pertanggungan yang diterima sebesar Rp 1 miliar. Jadi, ketika Mr. Y terkena musibah cacat akibat kecelakaan atau meninggal dunia (usia belum 100 tahun) akan menerima santunan Rp 1 miliar atau total Rp 2 miliar (UP Rp 1 miliar + benefit Rp 1 miliar). Sementara, jika Mr. Y menderita penyakit kritis sebelum umur 70 tahun dapat tambahan Rp 350 juta (total Rp 1,35 miliar). Jika Mr. Y menderita cacat total tetap sebelum usia 65 tahun akan menerima tambahan Rp 500 juta atau total Rp 1,5 miliar.

Bagaimana kalkulasi dari sisi reksa dana? Muhammad Ichsan, perencana keuangan dari lembaga Prime Planner mengungkapkan dari segi investasi, reksa dana dan unit link memiliki benefit yang sama. Wajar saja lantaran keduanya dikelola oleh manajer investasi dengan jenis instrumen yang nyaris sama. Bedanya hanya porsi alokasi dana yang ditaruh di saham, pasar uang, obligasi atau campuran.

Besarnya potensi return reksa dana bisa merujuk pada data yang dipublikasi di koran dalam setahun terakhir. Untuk periode 15 September 2005 - 15 September 2006, return reksa dana pendapatan tetap tertinggi dicapai oleh Dana Tetap Harapan sebesar 43,39%; reksa dana saham dicapai TRIM Kapital 66,53%; lalu reksa dana pasar uang diraih AAA Money Market Fund 58,68%; sedangkan reksa dana campuran diperoleh Fortis Pesona 52,29%.

Bila Mr. Y secara konsisten menginvestasikan dana senilai Rp 60 juta/tahun di Dana Tetap Harapan, dan return-nya juga konsisten di angka 43,39%, dalam 10 tahun ia akan memiliki dana Rp 2,03 miliar. Sementara itu, jika diinvestasikan di TRIM Kapital dana Mr. Y akan menjadi Rp 2,54 miliar, atau Rp 2,33 miliar bila diinvestasikan di Fortis Pesona. Itu dengan asumsi, return-nya tidak diinvestasikan lagi. Bila Mr. Y menginvestasikan kembali yang diperolehnya, tentunya dana yang berhasil dihimpun melalui investasi di reksa dana itu akan jauh lebih besar.

Bicara risiko reksa dana, tergantung pada jenis reksa dana yang dipilih investor. Sebagaimana dalil investasi high risk, high return, maka reksa dana yang portofolionya condong ditempatkan ke saham lebih gede risikonya dibandingkan dengan reksa dana pendapatan tetap yang banyak bermain di deposito dan obligasi. Apalagi setahun terakhir marak diluncurkan reksa dana terproteksi, sehingga nilai pokok investasinya digaransi kembali 100%, maka risikonya lebih diminimalisasi.

Lalu, gambaran untung-rugi investasi unit link seperti apa? Tak dapat disangkal bahwa unit link memberikan manfaat ganda: investasi sekaligus proteksi. Dengan demikian lebih unggul ketimbang asuransi konvensional. Menurut Dini, keunggulan unit link terletak pada akses di berbagai instrumen investasi, diversifikasi untuk menekan risiko, dikelola manajer investasi yang piawai, fleksibel (bisa di-top up), dan bebas pajak. “Untuk tiga tahun pertama, penarikan yang dilakukan tidak melebihi investasi awal, tidak dikenakan pajak. Tapi kalau lebih kena pajak capital gains,” Dini menerangkan. Lagi pula laporan pertumbuhan dana kelola unit link dibuat dengan neraca terpisah, meski produk ini gabungan antara investasi dan asuransi.

Unit link berbeda dari asuransi konvensional. Kalau asuransi tradisional nilai tunainya terbatas ditempatkan ke produk atau jasa yang disodorkan perusahaan asuransi. Lain halnya dengan unit link. Di sini investor bebas memilih instrumen investasinya, mulai dari deposito, reksa dana pendapatan tetap, reksa dana campuran, reksa dana saham atau reksa dana pasar uang. Dengan demikian, investor dapat mengubah jenis investasi yang ditempatkan sesuai dengan persepsi dan perkembangan pasar. Sebagai contoh, jika awalnya dana ditempatkan ke deposito, tapi di lain waktu bursa menunjukkan potensi lebih baik, dana itu bisa dialihkan ke reksa dana saham.

Walau demikian, unit link juga punya kelemahan. Menurut Ichsan total minimum premi yang dibayar unit link lebih tinggi dibanding asuransi murni. Risikonya pun ditanggung pemegang polis saja. “Belum lagi investor mesti sabar karena manfaat unit link bisa dirasakan secara optimal setelah 6 tahun,” tutur Ichsan. Aidil Akbar Madjid, perencana keuangan dari Pavillion Capital, juga mengamini opini Ichsan. Dikatakannya, nilai tunai investasi unit link baru akan terbentuk pada tahun ketiga. Sebab pada tahun pertama dan kedua, premi yang dibayar nasabah lebih banyak digunakan untuk membayar komisi agen. Kalau pun nilai tunainya bisa ditarik, maksimum hanya 90%.

Sementara itu jika unit link dibandingkan dengan reksa dana, unit link lebih unggul karena punya unsur proteksi. Tentu saja dari sisi return riil yang dihasilkan unit link lebih kecil ketimbang reksa dana. Mengapa? “Di unit link bisa jadi kena dua kali fee: biaya fund yang ditarik manajer investasi dan asuransi dari perusahaan asuransi, sehingga return-nya tidak maksimum,” papar Akbar. Menurutnya, semenarik apa pun kemasan produk unit link, ia menyarankan sebaiknya Mr. Y membeli produk yang murni investasi atau asuransi orisinal (term life, whole life, endowment). Demikian halnya pendapat Ichsan yang menilai fee unit link lebih tinggi 3%-4% dibandingkan dengan reksa dana. Namun, Wira membantah tudingan fee unit link besar. “Pembelian unit link di Allianz hanya dikenakan biaya administrasi total Rp 150 ribu untuk berapa pun nilai investasi nasabah,” kata Wira.

Adapun gambaran besarnya return unit link diilustrasikan Wira melalui produk Smart Link yang dikeluarkan Allianz Life Indonesia. Berdasarkan kasus Mr. Y, maka bila ia membeli Smart Link, ia akan memperoleh return Rp 803,13 juta (asumsi proyeksi return 12% per tahun) pada tahun ke-10. Dengan demikian jika Mr. Y meninggal atau cacat total pada tahun ke-10, ahli warisnya berhak menerima dana Rp 1,80 miliar (UP Rp 1 miliar + benefit Rp 803,13 juta).

Guna menyiasati agar tidak kejeblos investasi unit link, mula-mula mesti dideteksi dulu kebutuhan dan tujuan investasi yang disesuaikan dengan profil risiko masing-masing nasabah. Apakah tujuan membeli unit link untuk memenuhi proteksi atas hilangnya pendapatan karena cacat, meninggal, menderita penyakit kritis, ataukah lebih ditujukan untuk akumulasi kekayaan alias investasi. Apabila tujuan nasabah untuk investasi, polis premi tunggal lebih cocok karena mengandung unsur asuransi lebih rendah ketimbang investasinya. Sebaliknya, polis unit link dengan pembayaran premi berkala dirancang untuk fokus ke proteksi. Celakanya, banyak nasabah yang terkecoh membeli polis unit link berkala dengan tujuan untuk investasi. Bisa diduga, nasabah golongan ini bakal kecewa setelah tahu dananya ludes untuk berbagai biaya asuransi. Akbar mengingatkan, jika nasabah membutuhkan proteksi lebih dari 25 tahun, unit link boleh dipertimbangkan. Akan tetapi, seandainya nasabah hanya memerlukan asuransi 10-20 tahun, lebih baik membeli asuransi term life dan sisanya untuk belanja reksa dana.

Di Sequis Life untuk mengantisipasi agar nasabah tidak kejeblos disediakan formulir deteksi yang disebut Portfolio Allocation Scoring System (PASS). “Dengan metode PASS kami bisa mengetahui usia, horison investasi, karakter risiko nasabah, potensi return yang diharapkan dan sebagainya. Setelah pengukuran itu kami tawarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan nasabah,” Dini memaparkan. Dan tentunya, keputusan terakhir tetap berada di tangan nasabah.


(swa)

Oleh : Eva Martha Rahayu