Mengalihkan Resiko Ke Asuransi

Friday, April 25, 2008 0 comments

Mengalihkan Resiko Ke Asuransi

Contoh kasus

Saya juga pasangan yang baru menikah (1 tahun). Saya dan istri saya
kurang memiliki ketrampilan untuk mengelola uang. Kami berdua bekerja
di bidang sosial & sering kali menghabiskan sejumlah uang untuk
membantu orang.

Namun, kami ingin memiliki rumah. Problemnya adalah saya mengidap
penyakit yang cukup kronis dan mungkin sulit bagi saya untuk
memprediksikan apa yang akan terjadi setelah 5 tahun dari sekarang
dan ini sangat mempengaruhi sekali ke keputusan saya untuk mengambil
KPR untuk membeli rumah & untuk memiliki anak. Saya ingin sebelum
terjadi apa apa dengan saya, saya harus setidak tidaknya membeli
rumah untuk istri saya.

Berikut data data keuangan saya:
* Gaji saya: Rp. 7,500,000
* Gaji Istri saya: Rp. 3,500,000
* Cicilan Mobil (berakhir november 2009): Rp. 5,164,000
* Makan & kebutuhan sehari hari: Rp. 2,000,000
* Bensin: Rp. 600,000
* Mobile phone: Rp. 1,000,000
* Biaya kesehatan per 3 bulan: Rp. 8,000,000

Saya juga seorang consultant, yang berarti saya punya pemasukan tidak
tetap yang berkisar antara $2,000 – 5,000/project. Tapi ini sangat
tidak tetap, bisa 1 project dalam 3 – 4 bulan. Problemnya adalah saya
memiliki penyakit ini dan sangat sulit untuk memutuskan untuk
mengambil KPR, karena saya tidak mau bila sesuatu terjadi pada saya,
istri saya yang harus menanggungnya. Saya pikir saya ingin mengambil
rumah yang berkisar 400 – 500 Juta, karena saya ingin meninggalkan
istri saya dengan sesuatu dimana dia bisa nyaman & anak saya bisa
nyaman juga, walaupun saya tahu kenyamanan itu masih bisa terwujud
dengan rumah dengan lower budget. Namun kalau saya punya options
untuk mengambil rumah yang sesuai dengan keinginan istri saya, saya
akan senang untuk mengambil option yang itu.

Jawaban:

Ini adalah contoh kasus yang unik. Seorang suami, yang mengidap
penyakit kronis, ingin merencanakan keuangan untuk keluarganya
ketika sang suami telah diada. Biasanya kita membuat rencana untuk
masa depan dimana seluruh anggota keluarga masih ada, namun dalam
kasus unik ini kita membuat rencana keuangan untuk anggota keluarga
yang ditinggalkan.

Mari kita analisa kondisi keuangan keluarga. Pendapatan keluarga
berasal dari 2 orang, yaitu suami dan istri. Namun pendapatan
terbesar didominasi oleh suami. Tanpa keberadaan suami, maka keluarga
akan kehilangan pendapatan tetap sebesar Rp. 7.500.000,- dan
pendapatan sampingan dari konsultasi proyek. Secara total pendapatan
keluarga tinggal Rp. 3.500.000,-.

Sementara dari sisi pengeluaran, tanpa keberadaan suami, sang istri
tetap harus membayar penuh cicilan mobil sebesar Rp. 5.164.000,-.
Pengeluaran lainnya, bisa kita anggap hilang separuhnya karena ini
adalah pengeluaran variabel yang berdasarkan pada jumlah anggota
keluarga. Kita asumsikan keluarga sudah tidak perlu membayar biaya
kesehatan, jadi arus kas untuk keluarga tanpa keberadaan suami
kurang lebih seperti dibawah ini:
* Gaji Istri saya: Rp. 3,500,000
* Cicilan Mobil (berakhir november 2009): Rp. 5,164,000
* Makan & kebutuhan sehari hari: Rp. 1,000,000
* Bensin: Rp. 300,000
* Mobile phone: Rp. 500,000

Apa yang terjadi? Ternyata gaji istri tidak sanggup membayar cicilan
mobil. Cicilan ini menyebabkan keuangan keluarga semakin hari menjadi
semakin defisit. Dan pada saat keluarga sudah tidak sanggup lagi
membayar cicilan, pihak kreditur akan menyita mobil tersebut.

Demikian juga yang akan terjadi dengan cicilan rumah. Apabila tidak
dirancang dengan cermat, maka istri akan kewalahan untuk membayar
cicilan. Dengan tingkat pendapatan sekarang, istri hanya dapat
menyediakan uang sebesar Rp. 1.200.000,- per bulannya untuk membayar
cicilan seluruh hutangnya. Jadi apabila ingin mengambil KPR, suami
harus mencari solusi dimana per bulannya hanya perlu membayar
Rp. 1.200.000,-. Mungkin dengan cara membayar uang muka lebih banyak,
atau dengan cara mencari rumah yang harganya lebih murah.

Yang perlu diperhatikan dari contoh kasus ini adalah pernyataan
suami “saya tidak mau bila sesuatu terjadi pada saya, istri saya yang
harus menanggungnya.” Suami menyadari bahwa segala hutang yang
dibuatnya harus ditanggung oleh keluarganya. Terus terang saja,
jarang loh orang kepikiran hal seperti ini. Mungkin Anda tidak
menyadari bahwa seluruh hutang Anda akan diwariskan ke keluarga
yang Anda tinggalkan.

Coba bayangkan berapa banyak hutang Anda sekarang. Cicilan rumah,
cicilan mobil. Bahkan hingga ke cicilan kartu kredit yang masih belum
terbayar. Semuanya akan ditimpakan ke istri dan anak Anda, apabila
terjadi sesuatu pada Anda. Bagaimana nasib keluarga yang ditinggalkan?
Akankah mereka mampu melunasi hutang? Semua ini harus Anda pikirkan
sejak sekarang, dan direncanakan dengan matang. Jangan sampai keluarga
Anda harus tinggal di jalanan, atau anak Anda harus putus sekolah,
hanya karena terjadi sesuatu pada Anda sebagai sumber pendapatan
utama keluarga.
Hal ini kita sebut dengan resiko finansial keluarga.

Bagaimana cara mengantisipasi resiko finansial? Bagi Anda yang masih
tergolong sehat, cara yang paling efektif adalah dengan
mengalihkannya ke asuransi. Belilah asuransi jiwa dengan UP yang
mencukupi. Jadi apabila terjadi sesuatu pada Anda, maka pihak
asuransi akan memberikan sejumlah uang (UP) kepada keluarga yang
ditinggalkan. Uang inilah yang akan digunakan oleh keluarga untuk
membayar hutang, dan membiayai keperluan hidup.

Berapakah nilai UP yang mencukupi? Ada 3 hal yang perlu diperhatikan
dalam menghitung nilai UP. Penjelasan berikut ini dimulai dari
prioritas yang paling tinggi.

1. Jumlah seluruh hutang Anda.

Nilai minimal UP adalah jumlah seluruh hutang Anda. Hitunglah segala
cicilan yang belum terbayar, seperti cicilan mobil, cicilan rumah,
pinjaman teman, pinjaman koperasi, kartu kredit, dan segala macam
hutang. Jumlahkan seluruhnya. Maka inilah nilai minimal UP Anda.
Jadi andaikata terjadi sesuatu kepada Anda, maka keluarga Anda akan
menerima uang dari asuransi yang dapat digunakan untuk melunasi
seluruh hutang Anda. Dalam hal ini Anda tidak mewariskan hutang
kepada keluarga yang ditinggalkan.

2. Biaya hidup keluarga selama 5 tahun.

Nilai berikut yang perlu diperhitungkan untuk UP adalah biaya hidup
keluarga selama 5 tahun. Apabila perhitungan pertama sudah terpenuhi,
maka Anda perlu memikirkan biaya hidup keluarga Anda. Terutama untuk
keluarga yang hanya memiliki satu sumber penghasilan. Apabila terjadi
sesuatu yang menimpa sumber penghasilan keluarga, maka keluarga yang
ditinggalkan tidak memiliki penghasilan lagi.
Dengan apakah keluarga
membayar kebutuhan hidup? Jawabannya adalah dengan UP asuransi jiwa.
UP asuransi jiwa harus dapat membayar kebutuhan hidup keluarga selama
5 tahun, dengan asumsi setelah itu keluarga yang ditinggalkan sudah
mendapatkan sumber penghasilan baru untuk membiayai kebutuhan
hidupnya.

3. Biaya pendidikan anak.

Untuk taraf hidup sekarang, kehidupan seorang anak sangat bergantung
pada pembiayaan dari orang tuanya hingga anak lulus dari kuliah.
Apabila terjadi sesuatu terhadap orang tua yang menjadi sumber
penghasilan keluarga, maka anak tidak dapat membayar biaya kuliahnya.
Akibatnya, terjadilah putus sekolah. Anak terpaksa langsung terjun
ke dunia kerja, tanpa dibekali pendidikan yang cukup hanya untuk
membiayai kebutuhan hidup sehari-hari.

Disinilah peranan ketiga dari UP yang patut diperhitungkan dalam
rencana keuarga Anda. UP harus cukup untuk membiayai pendidikan anak,
hingga anak lulus kuliah. Setelah itu anak dapat secara mandiri terjun
ke dunia kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga.

Sampai disini dahulu pembahasan konsultasi dalam kesempatan ini. Untuk
informasi lebih lanjut mengenai asuransi, Anda dapat membaca ebook
kami “Keuangan Pribadi: Resep Rahasia Dibalik Kesuksesan Kaum Kaya”.
Ebook ini dapat dipesan secara online di:
http://www.keuanganpribadi.com?


Regards,



Taurida Adinda
http://keuanganpribadi.com


0 comments: to “ Mengalihkan Resiko Ke Asuransi so far...